Kamis, 11 April 2013

SUKU MORONENE




Suku Moronene adalah salah satu dari sekian banyak kelompok masyarakat adat-dulu sering disalahartikan sebagai suku terasing-di Sulawesi Tenggara. Di kaki pulau yang mirif huruf K itu ada suku Tolaki, Muna, dan Wolio (tiga yang terbesar), lalu ada Wawoni, Moronene, Kalisusu, Ciacia, serta Wakatobi.

Menurut antropolog Universitas Haluoleo, Kendari, Sarlan Adi Jaya, Moronene adalah suku asli pertama yang mendiami wilayah itu. Namun, pamornya kalah dibanding suku Tolaki karena pada abad ke-18 kerajaan suku Moronene-luas wilayahnya hampir 3.400 kilometer persegi-kalah dari kerajaan suku Tolaki.

Kata "moro" dalam bahasa setempat berarti serupa, sedangkan "nene" artinya pohon resam, sejenis paku yang biasanya hidup mengelompok. Kulit batangnya bisa dijadikan tali, sedangkan daunnya adalah pembungkus kue lemper. Resam hidup subur di daerah lembah atau pinggiran sungai yang mengandung banyak air. Sebagai petani, peramu, dan pemburu, suku Moronene memang hidup di kawasan sumber air. Mereka tergolong suku bangsa dari rumpun Melayu Tua yang datang dari Hindia Belakang pada zaman prasejarah atau zaman batu muda, kira-kira 2.000 tahun sebelum Masehi.



Tidak diketahui kapan tepatnya suku Moronene mulai menghuni kawasan Taman Nasional Rawa Aopa Watumohai. Tetapi sebuah peta yang dibuat pemerintah Belanda pada tahun 1820 sudah mencantumkan nama Kampung Hukaea, yakni kampung terbesar orang Moronene, yang sekarang masuk dalam areal taman nasional itu. Permukiman mereka tersebar di tujuh kecamatan, enam di Kabupaten Buton dan satu di Kabupaten Kolaka. Di luar komunitas itu, orang Moronene menyebar pula di beberapa tempat seperti Kabupaten Kendari karena terjadinya migrasi akibat gangguan keamanan dari Darul Islam sekitar tahun 1952-1953.

 

Kampung Hukaea, Laea, dan Lampopala biasa disebut orang Moronene sebagai Tobu Waworaha atau perkampungan tua bekas tempat tinggal para leluhur. Orang-orang Moronene masih sering mengunjungi tobu untuk membersihkan kuburan leluhur mereka ketika hari raya Idul Adha tiba-sebagian warga Moronene beragama Islam. Belakangan, setelah beberapa kuburan digali dan dipindahkan oleh orang tak dikenal, orang-orang Moronene bermukim kembali di Hukaea-Laea. Di zaman administrasi pemerintah Belanda, Hukaea termasuk distrik Rumbia, yang dipimpin seorang mokole (kepala distrik). Rumbia membawahkan 11 tobu, tujuh di antaranya masuk dalam wilayah taman nasional. Menurut Abdi, dari LSM Suluh Indonesia, jumlah orang Moronene di Sulawesi Tenggara saat ini diperkirakan sekitar 50000an, 0,5 persen di antaranya tinggal dalam kawasan taman nasional.

Seperti kebanyakan masyarakat adat lainnya, orang Moronene juga melakukan perladangan berpindah dengan sistem rotasi. Tapi sistem itu sudah lama ditinggalkan dan mereka memilih menetap. Suku Moronene juga dikenal pandai memelihara ekosistem mereka. Jonga atau sejenis rusa, misalnya, masih sering ditemui di sekitar permukiman mereka di Hukaea, termasuk burung kakatua jambul kuning, satwa endemik Sulawesi yang dilindungi. Namun, sifat asli suku ini, yang memegang tegung adat mosobu (pasrah dan tidak melawan), dan etos kerjanya yang rendah membuat mereka rentan terhadap penggusuran.

Buktinya, kehidupan tenang itu perlahan-lahan terusik ketika pemerintah di tahun 1990 menetapkan kawasan itu sebagai taman nasional. Dengan alasan itulah aparat Pemda Sulawesi Tenggara mengerahkan polisi dan tentara menggelar Operasi Sapu Jagat untuk mengusir keluar orang-orang Moronene. Alasannya, biar hutan tak rusak sehingga bisa dijual sebagai obyek ekoturisme dan sumber pendapatan da-erah lainnya. Padahal, hak masyarakat adat atas tanah ulayat mereka diakui oleh Undang-Undang Kehutanan tahun 1999.

 Bahasa Moronene, salah satu unsur budaya etnis Moronene di Kabupaten Bombana, Sulawesi Tenggara, terancam punah dalam masa 15 tahun hingga 25 tahun, karena mengalami pergeseran bahasa oleh masyarakat pendukungnya.
  
"Masyarakat pendukung yang aktif berbahasa daerah Moronene saat ini hanya golongan orang tua berusia di atas umur 50 tahun, sedangkan generasi muda telah bergeser menggunakan Bahasa Indonesia," kata Salah seorang Mahasiswi Strata 3 Universitas Negeri Jakarta, Yus Rambe, di Rumbia, Kamis.
  
Yus yang sedang meneliti tentang upaya mempertahankan Bahasa Moronene, mengatakan, salah satu akibat hilangnya budaya suatu suku, adalah terjadinya pergeseran bahasa yang terjadi di kalangan masyarakat pendukungnya.
  
"Saat ini masyarakat pendukung bahasa Daerah Moronene diperkirakan tersisa sekitar 25 persen, sedangkan 75 persennya terdiri dari kalangan yang berumur 25 sampai dengan 50 tahun," katanya.
  
Menurut Yus, ancaman kepunahan bahasa daerah tidak hanya dialami oleh Suku Moronene, tetapi juga ratusan etnis lainnya di Indonesia.
  
"Suku Moronene berada diurutan ke 115, setelah Etnis Loloan di Bali, yang terancam punah budayanya akibat pergeseran bahasa," katanya.
  
Zainuddin Tahyas, salah seorang tokoh budaya Moronene yang dihubungi terpisah, membenarkan adanya ancaman kepunahan bahasa daerah tersebut.
  
"Inilah kekhawatiran terbesar yang sedang dihadapi oleh mayoritas etnis Moronene di Bombana, yang belum diantisipasi baik dari kalangan masyarakat pendukung budaya itu sendiri maupun pemerintah," katanya.
  
Menurut Zainuddin, langkah untuk mengantisipasi ancaman kepunahan tersebut, yaitu Pemerintah Kabupaten Bombana membuat aturan daerah untuk menjadikan Bahasa Moronene sebagai salah satu mata pelajaran muatan lokal di tiap jenjang pendidikan.
  
"Pemkab Bombana juga membuat suatu aturan untuk mewajibkan penggunaan bahasa di instansi pemerintahan, pada hari-hari tertentu," katanya.



Rumah adat moronene 
merupakan hunian yang mencerminkan akulturasi kebudayaan suku moronene. kalau tidak salah sampai sekarang belum memiliki nama. seperti Sulsel : Tongkonan, Sultra : Laikas, Sulteng : Souraja, dan Sulut disebut bolaang mongondow. Namun dari kesemua itu rumah adat ini merupakan titik awal dari sebuah hunian zaman era teknologi sekarang.













Tidak ada komentar:

Posting Komentar